Pada hari pertama di pekan ini, Ridwan Kamil membuat berita. Ia mengumumkan dirinya tak akan ikut pilgub Jakarta. Media ramai, tentu saja termasuk media sosialnya. Frase “Kang Emil” di Twitter menjadi trending topic. Cuitan pengumumannya di media sosial itupun di-retweet 3.900 kali. Itu belum menghitung total jumlah media cetak dan digital yang mengabarkannya.
Ridwan Kamil adalah gejala. Ia mewakili kondisi realpolitik pada hari-hari ini. Melawan tujuh pasangan calon walikota dan wakilnya, ia menang telak pada pemilihan walikota Bandung, 3 tahun lalu. Suara yang diraihnya hampir 45 persen dalam satu putaran saja. Padahal, Emil bukan kader partai. Ia disokong dua partai yang relatif kecil: Gerindra dan PKS.
Menurut pengakuannya, sebelumnya ia berkeliling dari satu partai ke partai lain, melamar mereka supaya mau menyokongnya dalam pencalonan. Tapi hasilnya nihil. Selain Gerindra dan PKS, partai lain hanya tertarik menjadikan Emil sebagai calon wakil walikota. Hanya dua partai itu yang bersedia. Maka, kader PKS–Mang Oded–pun kemudian hanya dipasang sebagai calon wakil Emil. Dus, tak ada satupun di antara dua partai itu yang memaksa arsitek ini memegang kartu keanggotaan partai.
Hari-hari berikutnya, Emil tak pernah sepi dari berita. Ia bersama beberapa pemimpin daerah lain kerap dianggap sebagai harapan baru. Bedanya dari yang lain, kepala daerah satu ini sangat social media savvy. Tak pelak jika ada yang mengkritiknya, fanatiknya di Twitter akan bereaksi membela.
Apa yang terjadi?
Sekali lagi, Ridwan Kamil hanyalah gejala. Ia bagian kecil dari gambar besar dunia politik sejak penghujung abad ke-20, yang juga menjangkiti Amerika Serikat. Manuel Castells, dalam The Power of Identity, mencatat gambar besar itu sebagai meruaknya show politics (yang saya terjemahkan dengan semena-mena menjadi ‘politik panggung’) dan political marketing (pemasaran politik).
Kita di sini sama-sama bisa merasakan tiga gambarannya. Pertama, merosotnya partai-partai politik dan peranannya dalam menyeleksi kandidat. Kedua, munculnya sistem media yang kompleks. Dan, ketiga, terbangunnya (sistem) pemasaran politik.
Terbit pertama kali pada 1997, tentu saja Castells dalam buku itu tak membahas media sosial. Tapi, apa yang disebutkannya sebagai “sistem media yang kompleks” terdengar profetik saat menghadapi yang terjadi pada hari ini. Pernyataan seorang tokoh publik dalam media sosialnya, pasti akan ditindaklanjuti di media massa. Begitu pula dengan segala yang tertangkap dalam gambar, baik yang bergerak maupun tidak.
Dulu, partai menjadi perantara dan wahana, baik dalam hal idea maupun sebagai mesin politik. Tapi sekarang, massa bisa mengakses tokohnya secara langsung. Rekaman elektronik seakan-akan menghilangkan peran antara yang tadinya diemban partai. Begitu pula dengan cuit-cuitan di media sosial. Mention atau tag-lah pemimpinmu, maka ia pun bisa memonitor semua, dan langsung saat itu juga menjawabnya. Tentu saja jika ia mau dan punya waktu.
***
Saya teringat satu kesempatan saat Rizieq Shihab mengolok-olok salam sapaan dalam bahasa Sunda yang kerap dipromosikan Bupati Dedi Mulyana dari Purwakarta. “Campur racun,” kata Rizieq, memelesetkan ‘sampurasun.’ Tentu saja Dedi bereaksi atas olokan pimpinan FPI itu. Tapi kemudian, Ridwan Kamil muncul. Ia menyatakan Rizieq harus minta maaf atas olokannya.
Terang saja media ramai. Panggung tak lagi diisi pertandingan tinju antara Rizieq dengan Dedi, melainkan Rizieq dengan Emil! Dan dukungan pada sang walikota mengalir deras. Orang yang pencalonannya disokong oleh partai Islam ini sekarang tak hanya punya citra Islami, tapi juga citra pembela kebudayaan daerah! Luar biasa. Ia merebut panggung dari Dedi dan mengasosiasikan diri dengan sentimen-berbasis-kedaerahan dalam satu hentakan. Sentimen yang sebelumnya amat lekat dengan Bupati Purwakarta itu.
Emil juga tak hanya main di satu media sosial. Jika di Twitter ia kerap menggoda para jomblo dan mendapat keseruan (sekaligus cacian) karenanya, maka ia menggunakan Facebook untuk pos-pos yang lebih panjang. Misalnya, kegiatan-kegiatan kerjanya, lengkap dengan foto. Di Facebook pula ia kemarin semacam bertanya pada audiensnya, apakah ia perlu mencalonkan diri pada pemilihan gubernur ibukota.
“Perlukah saya pergi ke Jakarta untuk ikut pilkada gubernur DKI 2017? Mohon alasannya. Hatur nuhun.” Pos Emil di Facebook itu dikomentari sebanyak 57 ribu komentar, 74 ribu reaksi ekspresif, serta dibagikan sebanyak 5.900 kali. Di media sosial ber-platform gemuk ini, Ridwan Kamil tak kalah dirayakan dibanding kehebohannya di media sosial sekurus Twitter.
Satu lagi. Jika di Twitter ia melontarkan cuitan-cuitan pendek nan witty yang dengan sigap direproduksi oleh para pengikutnya, beda lagi dengan Instagram. Tengoklah gayanya yang selalu tampak grammable. Bersepeda dari rumah dinasnya di daerah alun-alun ke kantornya di Balai Kota sejauh hampir 5 KM, ia kerap mengenakan setelan jas plus peci. Entahlah soal gerah atau tidaknya, yang jelas gaya Emil mirip Presiden Sukarno dengan adaptasi ala generasi Milenial. Layak jepret, sekaligus mengingatkan khalayak pada Bung Besar.
Dalam hal penguasaan panggung itulah, Ridwan Kamil bisa disebut sebagai Sukarno zaman ini. Bedanya, ia tak berpidato di Lapangan Ikada. Panggung Emil adalah layar televisi, laptop, dan terutama, layar-layar telepon pintar kita.